Selasa, 10 Februari 2009

Tata Laksana Muntah Bagi Anak yang Menjalani Kemoterapi

Tata Laksana Muntah Bagi Anak Yang Menjalani KemoterapiPenulis: dr.Eddy Setiawan Tehuteru,SpA
Tata Laksana Muntah Bagi Anak yang Menjalani Kemoterapi

Edi Setiawan Tehuteru
SMF Anak Rumah Sakit Kanker “Dharmais”

M
untah merupakan salah satu efek samping yang sering dikeluhkan oleh anak-anak penderita kanker yang sedang menjalani kemoterapi. Menurut sebuah sumber memang dikatakan bahwa dari sekian banyak penyebab muntah pada anak, kemoterapi merupakan salah satu diantaranya.1 Bersamaan dengan semakin pesatnya perkembangan obat-obatan anti muntah, penderitaan anak-anak ini berangsur-angsur mulai dapat dikurangi. Penanganan muntah pada anak-anak penderita kanker yang sedang menjalani kemoterapi memang agak berbeda dengan penanganan muntah pada umumnya. Prinsip yang digunakan adalah prinsip yang dikembangkan oleh para ahli yang bergerak di bidang paliatif, yaitu memberikan obat anti muntah justru sebelum muntah itu terjadi.2 Hal ini dilakukan agar anak-anak tersebut tidak sampai harus merasakan bagaimana tidak enaknya muntah saat dikemoterapi, yang tentunya dapat berpengaruh terhadap kelanjutan dari pengobatan anak-anak tersebut dikemudian hari.

PATOFISIOLOGI
Secara sederhana, muntah adalah keluarnya kembali isi lambung melalui mulut. Namun, jika memperhatikan bagaimana proses muntah itu terjadi, ternyata tidak sesederhana itu.
Muntah dikoordinasi oleh pusat muntah di formasio reticularis medulla oblongata. Reseptor muntah terutama terdapat di dasar ventrikel ke empat otak dan disebut sebagai chemoreceptor trigger zone yang terletak di luar sawar darah otak. Sumber yang dapat menjadi input ke pusat muntah antara lain:
- Chemoreceptor trigger zone yang mengandung reseptor dopamine D2, reseptor serotonin 5-HT3, reseptor opioid, reseptor asetilkolin, dan reseptor substansi P. Stimulasi dari reseptor yang berbeda tersebut dapat merangsang pusat muntah melalui jalan yang berbeda.
- Sistem vestibular yang memberikan sinyal ke otak melalui saraf otak ke-VIII (vestibulocochlearis). Sistem ini berperan pada gejala muntah yang disebabkan oleh mabuk perjalanan (motion sickness) dan berkaitan dengan reseptor muskarinik dan reseptor histamin H1.
- Saraf otak ke-X (vagus) diaktifasi bila daerah faring terangsang sehingga menimbulkan refleks muntah.
- Sistem saraf usus dan vagus merupakan input dari sistem gastrointestinal. Iritasi dari mukosa gastrointestinal. Iritasi dari mukosa gastrointestinal karena kemoterapi, radiasi, distensi usus, dan gastroenteritis dapat mengaktivasi reseptor 5-HT3 melalui jalur ini.
- Susunan saraf pusat mempunyai peran pada muntah yang berkaitan dengan gangguan psikiatrik dan stres.

Pada anak-anak penderita kanker, obat-obat kemoterapi menyebabkan sel-sel di usus melepaskan serotonin yang kemudian sensasi ini diteruskan dan mengaktivasi pusat muntah di otak, yaitu di medula oblongata. Akhir dari proses yang kompleks ini ditandai dengan filorus yang mengalami relaksasi, yang memungkinkan isi duodenum dan proksimal yeyunum bergerak menuju lambung akibat gerakan peristaltik yang kuat untuk kemudian terjadi regurgitasi isi lambung melalui esofagus dan farings.3,4,5

PEMBAGIAN OBAT KEMOTERAPI
Sebelum menentukan obat anti muntah yang akan digunakan, penting untuk mengetahui obat kemoterapi yang digunakan termasuk dalam kelompok yang mana menurut kemampuannya dalam menimbulkan muntah. Obat-obat kemoterapi, menurut kemampuannya dalam menimbulkan muntah, dibagi atas 3 kelompok, yaitu ringan, sedang, dan berat. Disebut ringan bila kurang dari 10% pasien yang mendapat obat kemoterapi tertentu mengalami muntah, sedang bila 50% pasien yang mendapat obat kemoterapi tertentu mengalami muntah, dan berat bila semua pasien yang mendapat obat kemoterapi tertentu mengalami muntah.2
Berikut ini adalah pembagian obat kemoterapi menurut kemampuannya dalam menimbulkan muntah.

Tabel 1. Obat kemoterapi menurut kemampuannya dalam menimbulkan
muntah2,6

Ringan Bleomycin
Busulfan oral
Steroid
Fludarabine
Hydroxyurea
Interferon
Melfalan (Oral)
Mercaptopurine
Methotrexate < 1 g/m2
Thioguanine
Vinblastine
Vincristine


Sedang Asparaginase
Cytarabine < 1 g/m2
Etoposide
Fluoracil < 1000 mg/m2
Gemcitabine
Methotrexate > 1 g/m2
Thiotepa
Topotecan
Cyclofosfamide < 750 mg/m2
Epirubicin
Idarubicin
Mitoxantrone < 15 mg/m2


Berat Carboplatin
Carmustine
Cisplatin
Cyclofosfamide > 750 mg/m2
Cytarabine > 1 g/m2
Actinomycin
Doxorubicin
Irinotecan
Melfalan (IV)
Methotrexate > 2 g/m2
Mitoxantrone > 15 mg/m2
Procarbazine


PEMILIHAN OBAT ANTI MUNTAH
Setelah ditentukan termasuk dalam kelompok mana obat kemoterapi yang digunakan, selanjutnya adalah pemilihan obat anti muntah yang sesuai. Mengenai pilihan obat anti muntah berikut dosisnya dapat dilihat pada tabel 2 di bawah ini.

Tabel 2. Obat anti muntah2,7
Kelompok obat kemoterapi Obat anti muntah Dosis

Ringan Tidak diperlukan
atau Domperidone (oral) 0,3 mg/kg 4x/hari
atau Promethazine (oral) 0,5 mg/kg 4x/hari

Sedang Ondansetron (IV) 0,15 mg/kg 3x/hari
(IV kontinu) 0,45 mg/kg/hari
(maks 24-32 mg/hr)
(oral) 4-8 mg 2-3x/hari
atau Granisetron (IV) 10-20mcg/kg2-3x/hr
(oral) 1 mg 2x/hari
atau Dexamethasone(oral) 5 mg/m2 3x/hari

Berat Ondansetron/Granisetron Sama dgn di atas
dan Dexamethasone Sama dgn di atas


Obat-obatan anti muntah yang tersebut di atas harus diberikan 30 menit sebelum pemberian pertama obat kemoterapi dan dilanjutkan hingga obat kemoterapi selesai diberikan. Bagi pasien yang menggunakan obat kemoterapi yang termasuk dalam kelompok yang berat dalam menimbulkan muntah, dianjurkan agar ondansetron dilanjutkan hingga 3 hari setelah penghentian pemberian obat kemoterapi guna mengantisipasi muntah yang bisa timbul justru satu hari setelah obat kemoterapi dihentikan (delayed emesis).2,6 Khusus untuk cisplatin, selain ondansetron seperti ketentuan di atas, juga ditambah dexamethasone yang dilanjutkan hingga 2 hari setelah penghentian obat kemoterapi.6

PENUTUP
Tata laksana muntah pada anak-anak penderita kanker yang menjalani kemoterapi sebaiknya dapat dilakukan sesuai dengan kententuan yang berlaku. Hal ini tentunya diharapkan dapat mengurangi penderitaan anak-anak tersebut sehingga mereka tetap dapat menikmati kehidupan mereka setiap harinya sekalipun menderita kanker dan harus menjalani kemoterapi.

KEPUSTAKAAN
Wyllie R. Digestive Sysem. Dalam: Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB, editor. Nelson Text Book of Pediatrics. Edisi ke-17. USA: Saunders, 2004. h. 1197-356.
Wetering M. Supportive Care During Treatment. Dalam: Voute PA, Barret A, Stevens MCG, Caron HN, editor. Cancer in Children: Clinical Management. Edisi ke-5. USA: Oxford University Press, 2005. h. 86-100.
Martini FH, Ober WC, Garrison CW, Welch K, Hutchings RT. Fundamentals of Anatomy and Physiology. Edisi ke-5. New Jersey: Prentice Hall, 2001. h. 845-99.
Hutapea AM. Keajaiban-keajaiban Dalam Tubuh Manusia. Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, 2005. h. 174-5.
Oeschger-Schurch F, Verdan C. Oncological Nursing Care. Dalam: Imbach P, Kuhne T, Arceci RJ, editor. Pediatric Oncology: A Comprehensive Guide. Jerman: Springer, 2006. h. 205-28.
Schouten-van Meeteren AYN. Misselijkheid en Braken. Dalam: Kamps WA, Naafs-Wilstra MC, Schouten-van Meeteren AYN, Tissing WJE, editor. Werkboek Ondersteunende Behandeling in de Kinderoncologie. Belanda: VU University Press, 2005. h. 94-8.
Karwacki MW. Gastrointestinal Symptoms. Dalam: Goldman A, Hain, R, Liben S, editor. Oxford Textbook of Palliative Care for Children. USA: Oxpford University Press, 2006. h. 342-73.



Sudah dipublikasi di Jurnal Gastrohepatologi Anak Indonesia Volume 1 No. 3 Maret 2007

Tidak ada komentar:

Posting Komentar